Upacara Basuh Lantai (Daik-Lingga)-Provinsi Kepulauan Riau L ingga adalah sebuah pulau yang sekaligus merupakan nama sebuah kabupaten...
Upacara Basuh Lantai (Daik-Lingga)-Provinsi Kepulauan Riau
Hari yang dipilih untuk melaksanakan upacara ini adalah Jumat, karena menurut kepercayaan masyarakat setempat, hari tersebut adalah hari yang dirahmati Tuhan. Adapun waktunya, biasanya pada pagi hari karena siangnya (setelah sholat Jumat) dilanjutkan dengan acara kenduri. Uparacanya sendiri dilakukan di lantai sebuah kamar yang ketika itu digunakan sebagai tempat untuk melahirkan. Upacara yang biasanya dihadiri oleh kerabat dan tetangga ini, dipimpin oleh Mak Dukun/Bidan (yang dahulu membantu kelahiran) dan Pak Jantan (suami Mak Dukun). Sedangkan acara kenduri dilaksanakan di ruang tamu dan dipimpin oleh ulama setempat.
Sebagai catatan, sebenarnya hubungan antara ibu yang sedang hamil dan Mak Dukun terjadi tidak hanya pada kelahiran dan upacara basuh lantai saja, tetapi juga ketika kandungan telah berumur 7 bulan. Ketika itu Sang suami datang ke rumah Mak Dukun dengan membawa telur dan pulut. Tujuannya adalah agar Sang dukun bersedia membantu isterinya dalam proses kelahiran. Pemberitahuan dan sekaligus permohonan ini oleh masyarakat setempat disebut sebagai “menepah”, dengan telur dan pulut sebagai syaratnya. Sejak itu, suami dan isterinya yang sedang mengandung itu setiap hari Jumat datang ke rumah Mak Dukun. Mereka membawa sebotol air dan tiga buah limau untuk dimanterai. Air dan buah yang telah dimanterai itu kemudian digunakan untuk mandi selama tiga hari berturut-turut.
Peralatan Upacara
Peralatan yang perlu dipersiapkan dalam upacara basuh lantai ini adalah:
- Nampan yang berisi sepiring nasi/pulut kuning (beras ketan dengan kunyit sebagai pewarnanya), sepiring serabi dan kuahnya (kue yang terbuat dari tepung beras dicampur dengan santan kelapa), sepiring lauk ikan (dimasak dengan kuah);
- Satu buah kelapa yang sudah dibersihkan sebagian kulit luarnya;
- Sebuah lilin;
- Cermin dan sisir;
- Sebuah gunting;
- Benang warna putih yang panjangnya sekitar 7 meter;
- Seekor ayam1) (untuk bayi laki-laki berupa ayam betina, sedangkan untuk bayi perempuan berupa ayam jantan);
- Sepiring padi dan sepiring beras putih;
- Jeruk nipis;
- Semangkuk kecil minyak langi (terbuat dari gambir, asam, kapur, dan limau, kemudian ditumbuk);
- Semangkuk kecil asam; dan
- Air yang ditempatkan di wadah yang terbuat dari tanah liat (tempayan). Sedangkan, peralatan yang perlu dipersiapkan dalam kenduri adalah, 10 buah nampan (tergantung kemampuan penyelenggara upacara) yang masing-masing berisi sepiring ketupat (25 buah ketupat), sepiring ayam gulai, sepiring gulai udang, sepiring sambal kacang, sepiring serundeng, dan sepiring sambal kelapa. Bagi keluarga yang tidak mampu biasanya akan dibantu oleh para tetangganya. Bantuan itu bisa berupa uang atau bahan (beras, gula, kelapa dan lain sebagainya).
Jalannya Upacara
Setelah semua peralatan yang diperlukan dalam upacara basuh lantai ini tersedia, maka peralatan itu dibawa ke tempat upacara (kamar). Ibu dan bayi yang akan diupacarai duduk di tempat tidur. Sementara, Mak Dukun dan Pak Jantan duduk di lantai. Upacara diawali dengan pembacaan Al Quran (Surat Al Fatihah) oleh Pak Jantan. Setelah itu, ia berdoa agar ibu dan Sang Jabang Bayi, beserta keluarganya terhindar dari segala gangguan atau rintangan dalam kehidupannya. Sementara, Mak Dukun meletakkan tempayan yang berisi air di depan Pak Jantan. Di depan Mak Dukun sendiri telah tersedia sebuah nampan yang berisi: pulut (ketan) kuning sebanyak 4 kepal, secawan bubur merah, 2 buah jeruk nipis yang masing-masing terbelah empat, secawan kecil asam, 4 buah serabi, dan semangkuk minyak langi. Sembari mencuci tangan dengan air yang telah disediakan, Mak Dukun berdoa, kemudian mencuci lantai dengan cara mengguyur dan menggosok lantai yang pernah digunakan untuk proses kelahiran.
Setelah lantai dianggap bersih, Mak Dukun (sembari membaca mantera) mengolesinya dengan pulut, serabi, jeruk nipis, dan asam. Kemudian, disiram dengan minyak langi. Selanjutnya lantai disiram lagi dengan air untuk membersihkan sisa-sisa pulut, serabi, dan bahan-bahan lain yang telah dioleskan. Setelah itu lantai digoresi dengan sisir dan cermin.
Upacara diteruskan dengan pengguyuran (pemandian). Dalam hal ini bayi disiram oleh Mak Dukun dengan air yang telah dicampur perasan jeruk nipis, sebanyak tiga kali. Namun, sebelumnya Sang Dukun mentiup kedua telinga dan badan bayi masing-masing sejumlah tiga kali. Setelah itu, bayi diserahkan kepada ibunya. Di pangkuan ibunya, sebelum dimandikan lagi, lagi-lagi bayi ditiup telinga dan badannya sebanyak tiga kali. Kemudian, bayi diserahkan kepada neneknya untuk dihanduki (dikeringkan), dibedaki, dan diberi pakaian. Sementara itu, Sang ibu duduk di lantai dan dimandikan (diguyur dengan air yang telah dicampur dengan perasan jeruk nipis sebanyak 3 kali) oleh Mak Dukun. Setelah acara mandi selesai, Sang ibu kembali duduk di tempat tidur sambil menggendong bayinya. Lalu, Mak Dukun mendekatkan seekor ayam ke bayi. Jika ayam mematuk beras yang ada di telapak tangan Sang ibu, itu dianggap sebagai pertanda baik. Sebaliknya, jika ayam mematuk bayi, itu adalah pertanda buruk. Untuk itu, biasanya Sang ibu menjulurkan tangannya ke arah ayam, sehingga bayi terhindar dari patukan ayam.
Upacara dilanjutkan dengan acara lompat tiung (benang) yang bertempat di luar kamar. Acara ini dimulai dengan pengalungan benang pada leher Sang ibu yang dalam posisi berdiri dan menggendong bayinya. Sementara, Mak Dukun dan Pak Jantan ada di sebelah kiri dan kananya. Setelah pembacaan doa (oleh Pak Jantan) mereka saling melemparkan beras, padi dan uang logam ke kaki Sang ibu dan bayi yang digendongnya sejumlah tujuh kali. Makna simbolik dari pelemparan beras, padi, dan uang logam ke lantai adalah bahwa hidup di dunia hanya sementara. Suatu saat akan kembali kepada Tuhan. Untuk itu, diharapkan akan selalu ingat kepada-Nya. Selanjutnya, Sang ibu diminta oleh Mak Dukun dan Pak Jantan untuk melompati seutas tali atau benang sejumlah tiga kali. Makna simbolik yang ada dibalik lompatan ini adalah bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari berbagai rintangan atau halangan. Untuk itu, manusia harus selalu waspada (selalu hati-hati) agar bisa melewati berbagai rintangan. Ini artinya, kelak Sang bayi diharapkan dapat mengatasi berbagai rintangan dalam hidupnya.
Acara selanjutnya adalah pemutaran (pengelilingan) buah kelapa yang di atasnya ada lilin yang menyala. Pemutaran ini dilakukan oleh Mak Dukun dan Pak Jantan; masing-masing tiga kali (mengelilingi Sang ibu dari arah kanan ke arah kiri dan sebaliknya). Kelapa adalah tanaman yang dapat tumbuh di mana saja dan dapat dibuat apa saja (makanan dan minuman). Makna simbolik yang terkandung dari pemutaran buah kelapa ini adalah, agar Sang bayi kelak dapat hidup di mana saja dan berguna bagi masyarakatnya. Sedangkan makna simbolik yang ada di balik lilin adalah penerangan hidup. Ini artinya, Sang bayi kelak selalu dalam jalan yang benar karena apa pun yang terjadi ia tetap pada pedoman hidupnya.
Setelah lantai dianggap bersih, Mak Dukun (sembari membaca mantera) mengolesinya dengan pulut, serabi, jeruk nipis, dan asam. Kemudian, disiram dengan minyak langi. Selanjutnya lantai disiram lagi dengan air untuk membersihkan sisa-sisa pulut, serabi, dan bahan-bahan lain yang telah dioleskan. Setelah itu lantai digoresi dengan sisir dan cermin.
Acara selanjutnya adalah pemutaran (pengelilingan) buah kelapa yang di atasnya ada lilin yang menyala. Pemutaran ini dilakukan oleh Mak Dukun dan Pak Jantan; masing-masing tiga kali (mengelilingi Sang ibu dari arah kanan ke arah kiri dan sebaliknya). Kelapa adalah tanaman yang dapat tumbuh di mana saja dan dapat dibuat apa saja (makanan dan minuman). Makna simbolik yang terkandung dari pemutaran buah kelapa ini adalah, agar Sang bayi kelak dapat hidup di mana saja dan berguna bagi masyarakatnya. Sedangkan makna simbolik yang ada di balik lilin adalah penerangan hidup. Ini artinya, Sang bayi kelak selalu dalam jalan yang benar karena apa pun yang terjadi ia tetap pada pedoman hidupnya.
Acara diteruskan dengan pengguntingan ujung rambut Sang ibu dan anaknya serta merapikan dengan sisir. Makna simbolik yang terkandung di dalamnya adalah pembuangan hal-hal yang tidak baik pada diri ibu dan anaknya. Pemotongan ini juga sekaligus menandai, bahwa Si anak sudah diperbolehkan untuk keluar rumah dan menginjak tanah. Langkah selanjutnya adalah penumpahan beras ke badan bayi, pengguncangan buah kelapa ke telinga kanan dan kiri bayi. Penumpahan beras dimaksdukan agar di kemudian hari banyak rezekinya, sehingga hidupnya sejahtera. Sedangkan, pengguncangan buah kelapa ke telinga kanan dan telinga kiri sang bayi dimaksudkan agar selalu ingat bahwa hidup ini akan terus berjalan (ibarat tunas kelapa yang tumbuh terus), sehingga harus selalu hati-hati dan waspada dalam hidupnya.
Nilai Budaya
Anda baru saja membaca artikel dengan judul Upacara Basuh Lantai (Daik-Lingga)-Provinsi Kepulauan Riau, Semoga bermanfaat. Terima Kasih
Sumber:Galba, Sindu, Dibyo Harsono, dkk. 2001. Upacara Tradisional Di Daik Lingga. Tanjungpinang: Bappeda Kabupaten Kepulauan Riau dan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang.
COMMENTS