Stratifikasi Sosial dan Tradisi Mangalua Pada Masyarakat Batak Toba-Sumatera Utara D ari berbagai perbedaan kehidupan manusia, satu be...
Stratifikasi Sosial dan Tradisi Mangalua Pada Masyarakat Batak Toba-Sumatera Utara
Manusia adalah mahluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya.Umumnya manusia sangat peka terhadap budaya yang dipangkunya karena budaya merupakan landasan filosofi yang mendasari setiap prilaku manusia. Sehingga dengan demikian seringkali manusia secara tidak sadar bersikap tertutup terhadap kemungkinan perubahan dalam nilai-nilai yang selama ini dipangkunya, juga merasa bahwa nilai-nilai yang dimilikinya merupakan yang terbaik dan harus dipertahankan (Piotr 2008:35)
Sejak manusia mengenal adanya suatu bentuk kehidupan bersama di dalam bentuk organisasi sosial, lapisan-lapisan masyarakat mulai muncul. Pada masyarakat dengan kehidupan yang masih sederhana, pelapisan itu dimulai atas dasar perbedaan gender dan usia, perbedaan berdasarkan kekayaan.
Setiap masyarakat mempunyai sesuatu yang dihargai, bisa berupa kepandaian, kekayaan, kekuasaan, profesi, keaslian keanggotaan masyarakat dan sebagainya. Selama manusia membeda-bedakan penghargaan terhadap sesuatu yang dimiliki tersebut, pasti akan menimbulkan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Semakin banyak kepemilikan, kecakapan masyarakat/seseorang terhadap sesuatu yang dihargai, semakin tinggi kedudukan atau lapisannya. Sebaliknya bagi mereka yang hanya mempunyai sedikit atau bahkan tidak memiliki sama sekali, maka mereka mempunyai kedudukan dan lapisan yang rendah.
Batak Toba merupakan suatu sub suku yang hidup pada pengawasan adat-istiadat, terutama pada adat perkawinan. Masyarakat Batak Toba merupakan salah satu suku bangsa Batak dan salah satu dari ratusan suku bangsa yang ada di Indonesia.Berdiri dengan satu identitas budaya, berasal dari daerah tertentu, memiliki bahasa, dan adat istiadat sendiri.Masyarakat Batak Toba hidup dibawah pengawasan adat istiadatnya yang berperan mengatur keseluruhan tingkahlaku. Demikian juga dengan perkawinan sebagai salah satu siklus kehidupan seseorang. Perkawinan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba memiliki aturan-aturan adat yang sangat kuat walaupun sudah mengalami berbagai perubahan pada saat ini perkawinan masyarakat Batak Toba yang diatur oleh adat-istiadat akan lebih sah dan resmi.
1. Berdasarkan senioritas, jabatan dan sifat keaslian.
3. Sementara pada lapisan ketiga adalah rakyat biasa atau rakyat kebanyakan.
Pada mulanya hanya dari golongan mereka ini yang menjadi pemilik utama tanah desa, menduduki jabatan sebagai raja atau pangulu dan jabatan tersebut diwariskan kepada keturunannya. Orang-orang yang datang kemudian (pendatang) tidak memiliki hak atas tanah dan juga jabatan-jabatan dalam struktur pemerintahan huta. Mereka ini menguasai tanah desa hanya atas seizin dari penguasa. (Bungaran. 2004:43) Selain itu Suku Batak Toba mengenal tingkatan 3H, yaitu hamoraon (kekayaan),hagabeon (kebahagiaan, sebenarnya terjemahan hagabeon menjadi kebahagiaan adalah kurang pas) dan hasangapon (kehormatan, agak kurang pas juga kalau hasangapon diterjemahkan sebagai kehormatan).Bagi manusia Batak, pencapaian 3 H merupakan ukuran keberhasilan pencapaian dan kesuksesan seseorang.
Ukuran umum hagabeon dalam bangso Batak adalah bila mempunyai keturunan baoa (laki) dan boru (perempuan) yang juga kemudian mempunyai keturunan lagi. Jadi bila seseorang dalam hidupnya sudah mempunyai cucu dari anak laki-laki, cucu dari anak perempuan, serta semua anaknya baik laki dan perempuan sudah berumah tangga dan mempunyai keturunan, maka ia disebut gabe. Hagabeon menjadi sempurna ketika masih hidup dan masih bisa melihat cicit (apalagi kalau dari cucu perempuan dan cucu laki-laki). Itulah puncak sempurna hagabeon manusia Batak.
Adapun hasangapon, agak sulit mencari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia.Secara harafiah, sangap bisa diartikan sebagai terpuji, atau teladan, terhormat, nyaris tanpa cela. Seseorang yang dianggap sangap, berarti akan menjadi pribadi sempurna, manusia yang mencapai status tinggi dalam kehidupan, dan tidak ada cemoohan dari orang lain. Biasanya seseorang menjadi sangap, bila dalam tingkat tertentu juga mempunyai hamoraon dan mempunyai hagabeon. Karena itu , sesungguhnya sangat sulit untuk mengatakan seseorang sudah mencapai hasangapon sekarang ini.
Alasan idealnya karena pada saat itu seseorang sudah mandiri dan bertanggungjawab memenuhi nafkah pasangannnya serta siap meneruskan generasi dan nafkahi anak-anaknya kelak.Namun pada kenyataannya tidak semua berada dalam kondisi seperti ini. Oleh karena itu pandangan kultur perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya sakral dan hanya dapat dilakukan setelah wanita dan pria mengikatkan diri melalui prosesi adat dan dalam suatu ikatan perkawinan.
Perkawinan pada masyarakat Batak Toba pada hakekatnya adalah sakral, dikatakan sakral karena pemahaman adat Batak bermakna pengorbanan bagi parboru (pihak pengantin perempuan) kerena memberikan satu nyawa manusia yang hidup yaitu anak perempuannya kepada orang lain yakni pihak paranak (pihak pengantin pria), yang nantinya pihak pria harus juga menghargainya dengan mengorbankan atau mempersembahkan satu nyawa juga yakni dengan menyembelih seekor hewan (sapi atau kerbau) yang kemudian menjadi santapan dalam pesta perkawinan
Perkawinan pada masyarakat Batak Toba dapat terjadi seperti yang dengan jalan martandang (Pacaran) lebih dahulu sampai dengan peresmian perkawinan dengan acara adat.Hal seperti ini akan dapat berjalan lancar apabila setiap masalah dapat diselesaikan dengan baik. Kadang-kadang ada masalah yang tidak dapat diselesaikan kedua belah pihak yaitu pihak paranak dan pihak parboru.Misalnya, sepasang remaja sudah saling mencintai, tetapi orangtua mereka tidak setuju atas calon tersebut.Kedua remaja sudah berusaha mencari jalan keluar dengan jalan menghubungi keluarga untuk membujuk orangtua tetap tidak menyetujui si calon.
Apabila sepasang remaja itu sudah sangat saling mencintai maka pada mereka berdualah apa dan bagaimana jalan yang ditempuh untuk menegakkan perkawinan mereka. Bagi yang putus asa kadang-kadang sepasang remaja itu mengambil jalan sesat dan bagi yang sadar masih menempuh cara lain mewujudkan perkawinan dengan kawin lari yang disebut mangalua.
Perkawinan mangalua disebabkan karena tidak adanya kata sepakat antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan mengenai jumlah maskawin yang akan diberikan pihak pengantin lakilaki, dimana pihak pengantin laki-laki adanya kerena tidak sanggup memberikan jumlah mas kawin yang diminta oleh pihak pengantin perempuan. Perkawinan mangalua ini juga dapat terjadi karena salah seorang atau kedua orangtua dan pengantin laki-laki atau pengantin perempuan tidak menyetujui perkawinan mereka.
Kawin lari dilakukan karena kedua belah pihak keluarga tidak ada kesesuaian sehingga upaya terakhir yang dilakukan adalah kawin lari.Jika kawin lari terjadi, maka sistem kekeluargaan tidak terjalin dengan seluruh keluarga kedua belah pihak. Kawin lari dapat diselesaikan apabila pihak yang melarikan anak gadis tersebut yaitu pihak laki-laki pada suatu saat akan melakukan suatu upacara adat sesuai dengan hukum adat yang ditetapkan.
Faktor-faktor terjadinya kawin lari.
1. Tidak ada persetujuan dari kedua belah pihak yaitu orangtuaTetapi hingga saat ini peristiwa kawin lari kebanyakan dikarenakan kesalahan orangtua.Hal penting yang dilakukan pada saat mangalua adalah.
2. Perbedaan agama dan keyakinan
3. Perbedaan suku
4. Adanya pemahaman yang kurang akan artinya adat.
- Bila seorang melarikan seorang anak gadis, maka gadis tersebut harus dititipkan di tempat pihak ketiga. Di artikan dalam hal ini, pada saat peristiwa itu terjadi si gadis harus suci. Itulah sebabnya biasanya si gadis dititipkan ditempat petugas agama atau gereja dan bila ini tidak ada harus ditempatkan yang bukan ditempati oleh si laki-laki.
- Petugas agama bersama pihak keluarga pria berusaha mengesahkan kedua insan ini menjadi suami istri yang sah menurut agama.
- Melakukan pesta keluarga tanpa ada pihak wanita
- Setelah pesta keluarga tanpa ada pihak wanita, barulah diadakan upacara Mangadat
Timbulnya perubahan tata cara perkawinan upacara adat perkawinan di setiap daerah termasuk daerah perantauan. Apalagi ditambah dengan tingginya tingkat pendidikan yang menyebabkan meluasnya tingkat kognitif masyarakat, serta faktor agama dan status sosial yang banyak berperan dalam penentuan afeksi mereka terhadap upacara adat perkawinan. Namun pada dasarnya pelaksanaan adat perkawinan itu tetap sama yaitu berdasarkan adat dalihan na tolu (Pasaribu, 2002:74-79)
Anda baru saja membaca artikel dengan judul Stratifikasi Sosial dan Tradisi Mangalua Pada Masyarakat Batak Toba-Sumatera Utara, Semoga bermanfaat. Terima kasih.
COMMENTS